“Bakaba” Dalam Perspektif Budaya Seni Rupa 
Dalam pameran komunitas seni “Sakato” tahun 2010 lalu, Jim Supangkat pernah menyebutkan, bahwa. “Bakaba”, merupakan sistim penyebaran informasi dalam narasi lisan yang punya pengaruh pada sistim kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Informasi melalui bakaba bukan sekedar berita, karena di dalamnya mengandung pesan moral, pesan spiritual dan pemikiran yang mencerminkan kemampuan berpikir, kearifan, kebaikan dan kreativitas”.
Sebagai penyampai informasi bakaba, diasumsikan juga punya keistimewaan dan diniscayakan memiliki kepekaan bahwa informasi yang disampaikan ada kaitannya dengan kepentingan orang banyak. Namun dari gejala filosofis ia tidak dijelajahi berdasarkan pemikiran rasional, melainkan kepekaan yang tidak menampilkan kesimpulan pasti, karena ia diyakini berada di wilayah perasaan yang berurusan dengan keindahan.
Gambaran penyebaran informasi dalam kerangka budaya visual rupa melalui “bakaba” memiliki tiga fungsi ini seperti ; fungsi refresentasi, fungsi ekspresi dan fungsi estetik. Hal itu ternyata kental mewarnai pameran seni rupa yang tergabung dalam kumunitas seni “Sakato” dalam bakaba ke 4 di Yogyakarta di Jogya Gallery, sejak 5 s.d 18 Juni 2015.
Pameran yang diikuti puluhan perupa “urang awak” itu mengangkat isu tema “Randang dan Rendang” itu menampilkan, beberapa nama penting diantaranya Basrizal Albara, Syaiful Adnan, Syahrizal Koto, Darvies Rasyidin, Akmal Jaya, Dwita Anjasmara, Rudi Mantovani, Yunizar, Jumaldi Alfi, M. Irvan, Yusra Martunus, Zulfa Hendra, Abdi Setiawan, Erizal AS, Arlan Kamil, Ardison, Deskhairi, Gustari, Hamdan, Erianto, Wadino dan beberapa nama angkatan muda lain yang selama ini menghiasi peta seni rupa Indonesia.
“Randang dan Rendang” sebagaima ditulis Raihul Fajri dalam pengantar pameran Bakaba # 4 ini merupakan refresentasi kelenturan budaya Minangkabau ketika berhadapan dengan budaya lain di tanah air. Randang atau rendang secara signifikan berhasil menerobos sekat-sekat budaya berkat keleturan menyikapi nilai-nilai budaya.
Hal ini pula secara simbolik sesungguhnya menjadi bahagian penjelajahan seniman urang awak dilihat dari perspektif budaya dalam konteks seni rupa dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai salah satu barometer peta seni rupa Indonesia dari sekian banyak kegiatan kesenirupaan yang terus mengalir setiap saat dan waktu dalam karya-karya yang digelar.
Dalam catatan panitia menurut ketua Sakato, Erizal AS, bahwa, selain sanggar seni rupa “Dewata”, di Bali, sanggar Bidar Sriwijaya dan beberapa sanggar lain, bahwa komunitas seni Sakato merupakan sedikit kelompok etnis yang tampil di peta seni rupa Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya.
Berbagai kegiatan pameran, termasuk pameran Bakaba # 4 sekarang yang mendapat respon positif publik seni tanah air, bahkan sejumlah negara tetangga menunjukkan besarnya kebutuhan perupa urang awak yang bermukim di pulau Jawa terutama Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengaktualisasikan lewat kelompok etnis.
“Bakaba” dalam Perspektif Budaya Seni Rupa
Karya Rudi Mantovani, Hijau, akrilik, 200×200 cm/2013-2015 tampil memikat diantara karya yang ada. Menatap lama-lama karya ini beragam penafsiran pun bisa muncul diantaranya kita seakan diajak berkomunikasi lebih jauh dan lebih dalam. Hutan yang menghijau dari kejauhan –dipandang dari atas– yang kemudian melahirkan pesona kesuburan, kemakmuran bahkan keelokan alam itu sendiri.
Secara artifisial —pematung dan pelukis— Rudi Mantovani mencoba merefresentasikan budaya bakaba perihal pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia. Lihat rincian goresan lukisan yang detail, Rudi Mantovani seakan terasa melukis tidak semata dengan tangannya tetapi juga melalui pikiran dan perasaannya.
Pesan-pesan bakaba sebagai komunikasi bakaba secara simbolik segera dapat disidik melalui lukisan Besrizal Besta, Batas Terbatas, cat minyak, 200 x 200 cm/2015, karya Hamdan, Identity, akrilik 140 x 180 cm/2015, Erizal AS, faceless. Acrilik/charcoal/pastel, 200 x 200 cm/2015. Ketiganya memiliki kekuatan struktur lukisan yang esensial dengan warna-warna memikat yang memiliki multi makna.
Pegabtraksian bentuk mengacu pada nilai penampilan wujud/bentuk, nilai isi, rasa, intuisi atau ide dan nilai pengungkapan yang menjadi wahana “bakaba” di sana sini pada sejumlah karya yang tampil seakan tidak bisa di determinasi oleh apa dan siapa.
Namun aspek penilaian dari sisi estetika semisal lukisan-lukisan abstrak dengan ragam variasinya ternyata lebih menilai karya pada kualitas instrisik yang secara sengaja maupun tidak berhubungan dengan dunia luar merujuk kepada orininalitas, otensitas dan otonomi.
Lihat sebagaimana karya Fandi Ahmad, Head Rooted, Pen on Paper, 100 x 120 cm/2014, Harlen Kurniawan, Di Sadar Malam, akrilik 150 x 200 cm/2015, Deskhairi, Mengikat Rasa, akrilik, pencil/200 x 250 cm2015 dan Ardison, Kekuatan Rasa, akrilik, 150 x 200 cm/2015.
Karya lain lukisan Indra Dodi, Paradigma 3, akrilik 150×200/2015, Jumaldi Alfi, Displace # 4, akrilik 140×190 cm/2015, Gusmen Eriadi, News # 00, akrilik, 140×160 cm/2014, Zulza Hendra, Alam Jadi, Akrilik, 100x30x150cm/2015 dan Yurnalis Bes, Bromo#08, 140×160 cm/2015 mereflesikan persoalan humanisme lingkungan dan seisinya. Yang muncul kemudian kekuatan daya pikat tematik, nilai estetis dan ekspresi yang mewarnai kekuatan masing-masing hasil penjelajahan kerja lukis-melukis.
Seni Tiga Dimensi
Kelangkaan freksewnsi pameran patung dan minimnya jumlah pematung, di Indonesia, tak mengendorkan semangat dan kreativitas lahirnya karya-karya terbaik setiap saat dan waktu. Lihat di antaranya karya tiga dimensi pada pameran “Bakaba # 4” ini. Akmal Jaya melalui “Movement/irama”, Granite, 168 x 89 x 78 cm/2014 dengan liukan dan getaran bentukan garis tiga dimensionalnya yang dinamis dan berirama.
Karya Arlan Kamil, Senam Indah, Fiberglas, 100x30x130 cm/2015 yang tampil detail, Basrizal Albara, Merah Dagiang dan Hitamnya Randang, Wood Fossil dan Red Jasper, 76x40x30 xm/2015, Rispul Lingkaran Kehidupan, Brass and Aluminium, 110x48x35cm/2015 adalah merupakan pergulatan penjelajahan kreativitas yang tak pernah berhenti mengalir di tangan pematung urang awak ini.
Pemandangan kita tidak hanya terhenti dalam beberapa nama diatas, beberapa karya patung dan tiga dimensi lain makin memperkokoh eksistensi pameran ini. Lihat karya instalasi Dwita A.A, Kaba Dari Dapua, Stoneware Glaze, 250x300x10 cm/2015 dan gerakan Silat karya Jhoni Waldi, Balago, Chopper Al, 100x40x35cm/2015.
Karya Syahrizal Koto, Satu Rasa, fiberglass for bronze casting/2015, Karya Yunizar, Lion, Silikon Bronze, 123x45x66cm/2015 dan Yusman, Tumbuh, Bronze, 120×300 cm/2014 kita seakan dihadapkan pada persoalan bentuk “tiga dimensi” melalui kedalaman volume, padat dan ke “ruang”an tanpa kehilangan greget nilai artistik dan estetika guna dipandang, diamati dalam lekuk dan cembung, kehalusan permukaan patung dari beragam obyek hasil penjelajahan kreativitas di setiap karya yang tampil. (*)

Wartawan : Muharyadi – Pendidik dan pengamat seni rupa tinggal di Padang
Editor : Riyon

Sumber : http://m.padek.co/detail.php?news=29826